4/27/2010

rina

Adalah Rina, seorang wanita cantik yang beruntung. Di usia yang muda sukses

telah mengantarnya ke jenjang prestasi. Suaminyapun pria pilihan dan
berprestasi. Kebahagian mereka bertambah lengkap dengan hadirnya seorang
putri di tengah mereka. Dewi, putri mereka tumbuh sempurna, jasmani, rohani
dan kecerdasan.



Walaupun sibuk, Rina tidak pernah melalaikan perhatiannya kepada Dewi.
Pertumbuhannya, perilakunya, prestasinya terus disimak. Dia tidak ingin
sebagai wanita karir yang melepaskan tanggung jawabnya sebagai ibu. Bertahun
berlalu dan kedamaian meliputi keluarga Rina.



Tetapi benarlah kata pepatah, hidup ini tidaklah datar dan lurus. Pasti ada
bukit, lembah dan kelokannya. Demikian pula dengan Rina. Ketika Dewi
menginjak usia remaja, klas II SMP, mulailah terjadi konflik dengan ibunya.
Rina mengamati bahwa Dewi sekarang tidaklah "semanis" sebelumnya. Sering
membantah, tidak disiplin, temannya tidak sesuai dengan "kriteria" ibunya
dan lain sebagainya.



Mulailah kegundahan melanda hati Rina. "Akan menjadi apa Dewi nanti, kalau
terus begini ?", keluhnya suatu saat pada suaminya. Mencintai Dewi, adalah
konsep dasar Rina. Dia ingin Dewi tumbuh dan berkembang dengan "benar",
menurut tata nilai yang dianutnya. Dengan sabar suaminya memberi pemahaman :
"Rin, segala sesuatu berubah, termasuk Dewi, termasuk kita juga. Marilah
kita melihat ke depan, melakukan penilaian dengan system yang ada sekarang
dan mungkin akan ada di depan, bukan dengan system yang lalu".



Akhirnya, Rina dan suaminya sepakat untuk pergi ke seorang psikolog untuk
berkonsultasi. Dia ingin merancang tindakan terbaik yang harus dilakukan
untuk mengatasi masalahnya. Si psikolog, setelah dengan cermat mendengar
keluhan kliennya, memberi saran sederhana. "Ibu Rina, saya melihat bahwa
antara ibu dengan Dewi saat ini ada perbedaan cara memandang sesuatu atau
banyak suatu. Ibu memandang ke utara, Dewi mungkin ke barat. Akibatnya tidak
ketemu. Tetapi kita kan tidak tahu persis, apa yang berbeda tersebut. Nah,
untuk itu saya sarankan ibu dan Dewi membuat kesepakatan. Masing-masing
mengambil secarik kertas dan menuliskan semua kekurangan pihak lain yang
harus diperbaiki. Setelah melihat kekurangan-kekurangan yang dilihat pihak
lain, dapatlah kita mulai melakukan perubahan. Apa ibu setuju ?"

Rina setuju. Dia lihat cara tersebut sederhana, dan masuk akal, serta mudah
dilakukan. Jadilah suatu sore Rina masuk ke kamar Dewi. Sesaat tensi Rina
meningkat melihat keadaan kamar Dewi. Menurutnya sudah berantakan sekali dan
itu tidak patut sebagai kamar seorang gadis. Tetapi mengingat misi
perdamaian yang diembannya, ditahannya perasaan kesal itu. Dia akhirnya
berhasil mengajak Dewi untuk saling menulis kekurangan masing-masing di
secarik kertas dan besok malam Rina akan diam-diam meletakkan kertasnya di
kamar Dewi, sedang Dewi juga diam-diam akan meletakkan kertasnya di kamar
ibunya.

Rina dengan bersemangat menuliskan segala hal yang mengesalkan yang selama
ini telah dilakukan oleh Dewi. Dewi suka membantah, Dewi tidak disiplin,
Dewi prestasinya menurun, Dewi berteman dengan orang yang tidak ibu sukai,
dan sebagainya, dan sebagainya. Dua lembar kertas diperlukan untuk
menuliskan segala "dosa" Dewi, dan Rina merasa puas karena telah menumpahkan
kekesalannya di kertas itu. Dia membayangkan berbagai istilah anak sekarang
tentang ibunya yang akan ditulis oleh Dewi di kertasnya dan dia juga sudah
pikirkan berbagai dalih untuk membantahnya.

Keesokan harinya, pagi-pagi sewaktu Dewi mandi, Rina meletakkan kertasnya
di tempat tidur Dewi. Dia mencoba mencari di mana gerangan Dewi menaruh
kertasnya, tetapi gagal. Dia berharap Dewi menaati kesepakatannya dan sore
nanti kertas tersebut sudah ada di kamarnya.

Pulang kerja Rina langsung menghambur ke kamarnya tetapi dia melihat
kamarnya rapi dan lengang. Tak ada yang beda dari hari biasa. Tak dilihatnya
kertas tulisan Dewi di kamarnya. Tensinya langsung meningkat dan dia
bergegas menuju kamar Dewi. Sesaat dia mencoba meredam perasaan mengingat
lagi misi perdamaiannya. Diketuknya pintu kamar Dewi pelan-pelan : "Dewi,
boleh ibu masuk ?" "Silakan bu !", jawab Dewi dari dalam.

Rina masuk dan terkejut melihat muka Dewi yang pucat dan matanya merah.
Segera dihampiri dan dipeluknya. "Ada apa anakku ? Mana kertas yang kau
janjingan akan kau letakkan di kamar ibu ? Mengapa kau tidak menaati
kesepakatan kita ?" Rina berkata dengan perasaan campur aduk, antara cemas
akan keadaan Dewi, juga sekaligus menumpahkan perasaan kesal.

Dewi menyampaikan selembar kertas yang masih bersih. Tidak ada satupun
coretan di situ, sedang dia lihat Dewi sedang memegang kertas darinya. "Apa
artinya ini, Dewi ? Bukankan kita sepakat untuk menuliskan kekurangan kita
masing-masing di kertas itu, agar kita dapat memperbaikinya ? Ibu berharap
dengan itu, konflik di antara kita akan terselesaikan !" ujar Rina lagi.
Dewi menjawab sambil terisak ""Ibu, Dewi sudah berusaha keras untuk mencari
kekurangan ibu yang akan Dewi tuliskan di kertas itu. Tetapi Dewi tidak
menemukan satupun kekurangan pada ibu. Ibu bagiku adalah ibu yang sempurna,
yang selama ini telah memberi segalanya pada Dewi. Maafkan bu, kalau Dewi
tidak dapat menaati kesepakatan itu. Maafkan juga Dewi bu, karena ternyata
Dewi telah melakukan banyak sekali kekeliruan yang telah membuat ibu kesal
selama ini. Dewi berjanji untuk mengubahnya.

Kata-kata Dewi bagaikan sebuah godam menghantam hati Rina. Dewi, anaknya,
yang di matanya telah melakukan demikian banyak kekeliruan, ternyata tetap
memandangnya sebagai seorang ibu yang bersih. Dipaksakannya memandang muka
anaknya itu. Mata anaknya yang bening bagaikan cermin yang di dalamnya
terpantul wajahnya yang buram. Dia sadar bahwa selama ini dia mencintai
anaknya dengan konsep kekuasaan. Artinya dia mencintai anaknya sambil
memasukkan anaknya dalam kerangka konsep yang dibangunnya. Begitu anaknya
mencoba keluar dari konsep tersebut, terjadilah konflik. Dia menjadi tidak
mampu mencintai anaknya apa adanya. Dia kurang menyadari bahwa anaknya
berjalan ke depan dengan konsep yang baru, sedang dia terus menengok ke
belakang dengan konsep yang dipegangnya dari dulu. Sebaliknya, anaknya
justru mampu mencintainya apa adanya.

Untunglah bahwa hal tersebut dapat diketahui sejak awal, sehingga perubahan
dapat segera dilakukan. Banyak orang tua yang melakukan hal yang sama,
berakibat sama, yaitu konflik dengan anak, dan tragisnya si anak yang
akhirnya tersingkir, memilih dunianya sendiri dan akhirnya justru menjadi
masalah bagi masyarakat dengan berbagai gangguan. Kalau sudah begitu, mereka
terus akan menjadi fokus pengganggu. Program penanggulangannya pun bertajuk
"kenakalan remaja".

Itu mungkin salah satu jawaban terhadap berbagai masalah dewasa ini yang
kurang disadari penyebab dasarnya. Mudah-mudahan kisah ini dapat menjadi
cermin bagi orang tua yang ingin mencintai anak-anaknya dengan tulus.
Kuncinya adalah jauhkan diri dari anggapan bahwa orang tua selalu benar,
karena orang tua juga manusia biasa.

Submitted by : Tri Djoko Wahono

No comments:

Post a Comment