5/14/2010

asd

surat

4/27/2010

Kasih Seorang Ayah

Sejak kuliah, radio merupakan salah satu teman yang selalu menemani
saya ketika mengerjakan tugas, belajar, maupun santai. Tidak
pernah bosan rasanya mendengarkan acara-acara yang disajikan
oleh berbagai macam saluran radio.
Suatu malam di sebuah stasion radio, sedang berlangsung acara
di mana orang-orang berbagi pengalaman hidup mereka. Perhatian
saya yang semula tercurah kepada tugas statistic beralih ketika
seorang wanita bercerita tentang ayahnya. Wanita ini adalah anak
tunggal dari keluarga sederhana yang tinggal di pinggiran kota Jakarta.
Sejak kecil ia sering dimarahi oleh ayahnya.
Di mata sang ayah, tak satu pun yang dikerjakan olehnya benar.
Setiap hari ia berusaha keras untuk melakukan segala sesuatu sesuai
dengan keinginan ayahnya, namun tetap saja hanya ketidakpuasan
sang ayah yang didapatkan.
Pada umur 17 tahun, tak sepatah ucapan selamat pun yang keluar
dari mulut ayahnya. Hal ini membuat wanita itu semakin membenci
ayahnya. Sosok ayah yang melekat dalam dirinya adalah sosok yang
pemarah dan tidak memperhatikan dirinya. Akhirnya ia memberontak
dan tak pernah satu hari pun ia lewati tanpa bertengkar dengan ayahnya.
Beberapa hari setelah ulang tahun yang ke-17 tahun tersebut,
ayah wanita itu meninggal dunia akibat penyakit kangker yang tak
pernah ia ceritakan kepada siapa pun kecuali kepada istrinya.
Walaupun merasa sedih dan kehilangan, namun di dalam diri wanita
itu masih tersimpan rasa benci terhadap ayahnya.
Suatu hari ketika membantu ibunya membereskan barang-barang
peninggalan almarhum, ia menemukan sebuah bingkisan yang
dibungkus rapi dan di atasnya tertulis. “Untuk Anakku Tersayang“.
Dengan hati-hati diambilnya bingkisan tersebut dan mulai membukanya.
Di dalamnya terdapat sebuah jam tangan dan sebuah buku yang telah
lama ia idam-idamkan. Di samping kedua benda itu, terdapat sebuah
kartu ucapan berwarna merah muda. Warna kesukaannya.
Perlahan,
ia membuka kartu tersebut dan mulai membaca tulisan yang ada
di dalamnya, yang ia kenali betul sebagai tulisan tangan ayahnya.
“ Ya Tuhan, terima kasih karena Engkau mempercai diriku yang rendah
ini untuk memperoleh karunia terbesar dalam hidupku. Kumohon
ya Tuhan, jadikan buah kasih hambaMu ini orang yang berarti bagi
sesamanya dan bagiMu. Jangan Kau berikan jalan yang lurus dan
luas membentang, berikan jalan yang penuh liku dan duri agar
ia dapat meresapi kehidupan dengan seutuhnya. Sekali lagi ku mohon
ya Tuhan sertai anakku dalam setiap langkah yang ia tempuh.
Jadikan ia sesuai dengan kehendakMu. Selamat ulang tahun anakku,
doa ayah selalu menyertaimu.”
Meledaklah tangis sang anak usai membaca tulisan yang terdapat
dalam kartu tersebut. Ibunya menghampiri dan menanyakan apa
yang terjadi. Dalam pelukan Ibunya, ia menceritakan semua tentang
bingkisan dan tulisan yang terdapat dalam kartu ulang tahunnya.
Ibu wanita itu akhirnya menceritakan bahwa ayahnya memang sengaja
merahasiakan penyakitnya dan mendidik anaknya dengan keras agar
sang anak menjadi wanita yang kuat, tegar, dan tidak terlalu kehilangan
sosok ayahnya ketika ajal menjemput akibat penyakit yang diderita.
Pada akhirnya, wanita itu mengingatkan para pendengar agar tidak
selalu melihat apa yang kita lihat dengan kedua mata kita. Lihatlah
juga segala sesuatu dengan mata hati kita. Apa yang kita lihat
dengan kedua mata kita terkadang tidak sepenuhnya seperti apa
yang sebenarnya terjadi.”Kasih seorang ayah, seorang ibu, saudara-
saudara, orang-orang di sekitar kita dan yang terutama Kasih Tuhan,
dilimpahkan pada kita dengan berbagai cara. Sekarang tinggal bagaimana
kita menerima, menyerap, mengartikan dan membalas kasih itu “,
kata wanita tersebut menutup acara pada malam hari itu.

rina

Adalah Rina, seorang wanita cantik yang beruntung. Di usia yang muda sukses

telah mengantarnya ke jenjang prestasi. Suaminyapun pria pilihan dan
berprestasi. Kebahagian mereka bertambah lengkap dengan hadirnya seorang
putri di tengah mereka. Dewi, putri mereka tumbuh sempurna, jasmani, rohani
dan kecerdasan.



Walaupun sibuk, Rina tidak pernah melalaikan perhatiannya kepada Dewi.
Pertumbuhannya, perilakunya, prestasinya terus disimak. Dia tidak ingin
sebagai wanita karir yang melepaskan tanggung jawabnya sebagai ibu. Bertahun
berlalu dan kedamaian meliputi keluarga Rina.



Tetapi benarlah kata pepatah, hidup ini tidaklah datar dan lurus. Pasti ada
bukit, lembah dan kelokannya. Demikian pula dengan Rina. Ketika Dewi
menginjak usia remaja, klas II SMP, mulailah terjadi konflik dengan ibunya.
Rina mengamati bahwa Dewi sekarang tidaklah "semanis" sebelumnya. Sering
membantah, tidak disiplin, temannya tidak sesuai dengan "kriteria" ibunya
dan lain sebagainya.



Mulailah kegundahan melanda hati Rina. "Akan menjadi apa Dewi nanti, kalau
terus begini ?", keluhnya suatu saat pada suaminya. Mencintai Dewi, adalah
konsep dasar Rina. Dia ingin Dewi tumbuh dan berkembang dengan "benar",
menurut tata nilai yang dianutnya. Dengan sabar suaminya memberi pemahaman :
"Rin, segala sesuatu berubah, termasuk Dewi, termasuk kita juga. Marilah
kita melihat ke depan, melakukan penilaian dengan system yang ada sekarang
dan mungkin akan ada di depan, bukan dengan system yang lalu".



Akhirnya, Rina dan suaminya sepakat untuk pergi ke seorang psikolog untuk
berkonsultasi. Dia ingin merancang tindakan terbaik yang harus dilakukan
untuk mengatasi masalahnya. Si psikolog, setelah dengan cermat mendengar
keluhan kliennya, memberi saran sederhana. "Ibu Rina, saya melihat bahwa
antara ibu dengan Dewi saat ini ada perbedaan cara memandang sesuatu atau
banyak suatu. Ibu memandang ke utara, Dewi mungkin ke barat. Akibatnya tidak
ketemu. Tetapi kita kan tidak tahu persis, apa yang berbeda tersebut. Nah,
untuk itu saya sarankan ibu dan Dewi membuat kesepakatan. Masing-masing
mengambil secarik kertas dan menuliskan semua kekurangan pihak lain yang
harus diperbaiki. Setelah melihat kekurangan-kekurangan yang dilihat pihak
lain, dapatlah kita mulai melakukan perubahan. Apa ibu setuju ?"

Rina setuju. Dia lihat cara tersebut sederhana, dan masuk akal, serta mudah
dilakukan. Jadilah suatu sore Rina masuk ke kamar Dewi. Sesaat tensi Rina
meningkat melihat keadaan kamar Dewi. Menurutnya sudah berantakan sekali dan
itu tidak patut sebagai kamar seorang gadis. Tetapi mengingat misi
perdamaian yang diembannya, ditahannya perasaan kesal itu. Dia akhirnya
berhasil mengajak Dewi untuk saling menulis kekurangan masing-masing di
secarik kertas dan besok malam Rina akan diam-diam meletakkan kertasnya di
kamar Dewi, sedang Dewi juga diam-diam akan meletakkan kertasnya di kamar
ibunya.

Rina dengan bersemangat menuliskan segala hal yang mengesalkan yang selama
ini telah dilakukan oleh Dewi. Dewi suka membantah, Dewi tidak disiplin,
Dewi prestasinya menurun, Dewi berteman dengan orang yang tidak ibu sukai,
dan sebagainya, dan sebagainya. Dua lembar kertas diperlukan untuk
menuliskan segala "dosa" Dewi, dan Rina merasa puas karena telah menumpahkan
kekesalannya di kertas itu. Dia membayangkan berbagai istilah anak sekarang
tentang ibunya yang akan ditulis oleh Dewi di kertasnya dan dia juga sudah
pikirkan berbagai dalih untuk membantahnya.

Keesokan harinya, pagi-pagi sewaktu Dewi mandi, Rina meletakkan kertasnya
di tempat tidur Dewi. Dia mencoba mencari di mana gerangan Dewi menaruh
kertasnya, tetapi gagal. Dia berharap Dewi menaati kesepakatannya dan sore
nanti kertas tersebut sudah ada di kamarnya.

Pulang kerja Rina langsung menghambur ke kamarnya tetapi dia melihat
kamarnya rapi dan lengang. Tak ada yang beda dari hari biasa. Tak dilihatnya
kertas tulisan Dewi di kamarnya. Tensinya langsung meningkat dan dia
bergegas menuju kamar Dewi. Sesaat dia mencoba meredam perasaan mengingat
lagi misi perdamaiannya. Diketuknya pintu kamar Dewi pelan-pelan : "Dewi,
boleh ibu masuk ?" "Silakan bu !", jawab Dewi dari dalam.

Rina masuk dan terkejut melihat muka Dewi yang pucat dan matanya merah.
Segera dihampiri dan dipeluknya. "Ada apa anakku ? Mana kertas yang kau
janjingan akan kau letakkan di kamar ibu ? Mengapa kau tidak menaati
kesepakatan kita ?" Rina berkata dengan perasaan campur aduk, antara cemas
akan keadaan Dewi, juga sekaligus menumpahkan perasaan kesal.

Dewi menyampaikan selembar kertas yang masih bersih. Tidak ada satupun
coretan di situ, sedang dia lihat Dewi sedang memegang kertas darinya. "Apa
artinya ini, Dewi ? Bukankan kita sepakat untuk menuliskan kekurangan kita
masing-masing di kertas itu, agar kita dapat memperbaikinya ? Ibu berharap
dengan itu, konflik di antara kita akan terselesaikan !" ujar Rina lagi.
Dewi menjawab sambil terisak ""Ibu, Dewi sudah berusaha keras untuk mencari
kekurangan ibu yang akan Dewi tuliskan di kertas itu. Tetapi Dewi tidak
menemukan satupun kekurangan pada ibu. Ibu bagiku adalah ibu yang sempurna,
yang selama ini telah memberi segalanya pada Dewi. Maafkan bu, kalau Dewi
tidak dapat menaati kesepakatan itu. Maafkan juga Dewi bu, karena ternyata
Dewi telah melakukan banyak sekali kekeliruan yang telah membuat ibu kesal
selama ini. Dewi berjanji untuk mengubahnya.

Kata-kata Dewi bagaikan sebuah godam menghantam hati Rina. Dewi, anaknya,
yang di matanya telah melakukan demikian banyak kekeliruan, ternyata tetap
memandangnya sebagai seorang ibu yang bersih. Dipaksakannya memandang muka
anaknya itu. Mata anaknya yang bening bagaikan cermin yang di dalamnya
terpantul wajahnya yang buram. Dia sadar bahwa selama ini dia mencintai
anaknya dengan konsep kekuasaan. Artinya dia mencintai anaknya sambil
memasukkan anaknya dalam kerangka konsep yang dibangunnya. Begitu anaknya
mencoba keluar dari konsep tersebut, terjadilah konflik. Dia menjadi tidak
mampu mencintai anaknya apa adanya. Dia kurang menyadari bahwa anaknya
berjalan ke depan dengan konsep yang baru, sedang dia terus menengok ke
belakang dengan konsep yang dipegangnya dari dulu. Sebaliknya, anaknya
justru mampu mencintainya apa adanya.

Untunglah bahwa hal tersebut dapat diketahui sejak awal, sehingga perubahan
dapat segera dilakukan. Banyak orang tua yang melakukan hal yang sama,
berakibat sama, yaitu konflik dengan anak, dan tragisnya si anak yang
akhirnya tersingkir, memilih dunianya sendiri dan akhirnya justru menjadi
masalah bagi masyarakat dengan berbagai gangguan. Kalau sudah begitu, mereka
terus akan menjadi fokus pengganggu. Program penanggulangannya pun bertajuk
"kenakalan remaja".

Itu mungkin salah satu jawaban terhadap berbagai masalah dewasa ini yang
kurang disadari penyebab dasarnya. Mudah-mudahan kisah ini dapat menjadi
cermin bagi orang tua yang ingin mencintai anak-anaknya dengan tulus.
Kuncinya adalah jauhkan diri dari anggapan bahwa orang tua selalu benar,
karena orang tua juga manusia biasa.

Submitted by : Tri Djoko Wahono